Badung (ANTARA) - Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO Prof Ismunandar menyinggung perihal status warisan budaya tak benda subak Jatiluwih, saat ditemui dalam kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Disela-sela World Water Forum (WWF) Ke-10, ia menyempatkan diri mengunjungi subak di Kabupaten Tabanan dan melihat perubahan di sana, yaitu munculnya restoran dan kafe di tengah sawah yang membuat ada potensi status dari UNESCO dicabut.
“Betul, betul (berpotensi dicabut), kemarin saya kesana juga bertemu masyarakat dan sudah bertanya, kemungkinan itu yang harus disadari,” kata dia.
Prof Ismunandar mengingatkan meskipun UNESCO sudah sejak lama melabeli subak Jatiluwih sebagai situs budaya tak benda, proses pemeriksaan mereka terus berjalan setiap 2 tahun sekali.
“Ada laporan berkala, tapi kalau ada masyarakat setempat atau yang merasa memeliharanya tidak bagus main rusak, tidak menepati janji awal bisa lapor, yang lebih utama bagaimana menjaga bersama bukan menunggu diperiksa atau pihak ketiga,” ujarnya.
Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO itu menyayangkan kondisi tersebut, apalagi kehadirannya di kawasan sawah bertingkat seluas 303 hektare itu sekaligus dalam rangka World Water Forum Ke-10 yang mengangkat nama subak.
“Saya lihat saya lihat kondisi disana, ya kami diskusikan, sebetulnya kembali lagi ketika mengusulkan dulu nilai-nilai universalnya apa, kalau tidak cocok harus ada koreksi masyarakat,” kata Prof Ismunandar.
“Dengan label UNESCO ada dua sisi, satu bisa membantu promosi, di sisi lain ada kewajiban memelihara, kalau tidak baik bisa kemudian status itu dicabut,” katanya menegaskan.
Diketahui, di sawah berundak dengan sistem pengairan khas Bali itu mulai muncul restoran dan kafe di tengahnya, delegasi Indonesia kemudian menaruh perhatian atas kondisi ini.
Tak hanya fokus pada perubahan kondisi persawahan, Prof Ismunandar juga menggarisbawahi tugas UNESCO yang merupakan organisasi PBB dengan fokus menjaga perdamaian lewat kerja sama pendidikan dan kebudayaan.
Subak menjadi salah satu bagian dari kebudayaan, dimana secara turun temurun manajemen pengairan ini tumbuh dah diwarisi.
“Yang kita kurang sekarang, kita menikmati kelimpahan air di hilir tapi lupa yang menjaga hutannya di hulu,“ ujarnya.
Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024